MAKALAH ILLEGAL LOGGING


 ILLEGAL LOGGING

Hutan merupakan suatu kawasan/wilayah yang ditumbuhi banyak pepohonan, serta didalamnya terdapat berbagai macam flora dan fauna, hutan juga merupakan penyangga kehidupan, yang apabila hutan itu kita jaga dan lestarikan dengan baik, maka akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun sebaliknya, jika kita tidak peduli akan kelestarian hutan dan melakukan hal-hal yg bisa membuat hutan itu punah, maka berbagai bencana lah yang akan diterima manusia.
Banyak hal yang dapat merusak hutan, contohnya adalah Illegal Logging (penebangan liar).


1.                         PENGERTIAN

Illegal logging atau pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Secara praktek, illegal logging dilakukan terhadap areal hutan yang secara prinsip dilarang. Di samping itu, praktek illegal logging dapat pula terjadi selama pengangkutan, termasuk proses ekpor dengan memberikan informasi salah ke bea cukai, sampai sebelum kayu dijual di pasar legal.
Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

2.                         ILLEGAL LOGGING DAPAT DILAKUKAN DENGAN DUA CARA

Pertama : Dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki
Kedua : Melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang.

3.                         FAKTOR PENDORONG
Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal: 
a.       Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal logging). Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

b.      Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.


c.       Lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Selama ini, praktekillegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di samping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal logging.


d.      Tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan- pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam kontek inilah terjadi tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya, -termasuk hutan- guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.

4.        AKIBAT

Praktek illegal logging sudah barang tentu memiliki ekses negatif yang sangat besar. Secara kasat mata ekses negatifillegal logging dapat diketahui dari rusaknya ekosistem hutan. Rusaknya ekosistem hutan ini berdampak pada menurunnya atau bahkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyimpan air, pengendali air yang dapat mencegah banjir juga tanah longsor. Sehingga rentan terhadap bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Di samping itu,illegal logging juga menghilangkan keanekaragaman hayati, berkurangnya kualitas dan kuantitas ekosistem dan biodiversity, dan bahkan illegal logging dapat berperan dalam kepunahan satwa alam hutan Indonesia.
Dari sisi ekonomis, illegal logging telah menyebabkan hilangnya devisa negara. Menurut Walhi, hasil illegal logging di Indonesia pertahunnya mencapai 67 juta meter kubik dengan nilai kerugian sebesar Rp 4 triliun bagi negara. Di samping itu, data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1998 hingga 2004, kerugian Indonesia akibat illegal logging mencapai 180 triliun.

5.      PENCEGAHAN KERUSAKAN HUTAN


Metode Jeda Penebangan Hutan (Moratorium Logging) Sebagai Langkah Awal Bersama
    Berangkat dari kompleksnya faktor penyebab kerusakan hutan di Indonesia dibutuhkan solusi yang cepat dan tepat, untuk menyatukan visi dan misi seluruh stakeholders dalam menjaga eksistensi hutan di Negara ini. Jeda Penebangan Hutan atau Moratorium Logging adalah suatu metode pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium biasanya ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut (Hardiman dalam Hutan Hancur, Moratorium Manjur).
Sebagai langkah awal dalam pencegahan kerusakan hutan nasional, metode ini dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak. Bentuknya dapat berupa reformasi hutan yang dilaksanakan oleh semua pihak sebgai bentuk partisipasi pemerintah, privat, dan masyarakat dalam melindungi hutan dari kerusakan.
Moratorium Logging dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, berikut adalah gambaran manfaat yang dapat diterima oleh stakeholder bila jeda penebangan hutan dilaksanakan saat ini:
·         Pemerintah mendapatkan manfaat berupa jangka waktu dalam melakukan restrukturisasi dan renasionalisasi industri olahan kayu nasional, mengkoreksi over kapasitas yang dihasilkan oleh indsutri kayu, serta mengatur hak-hak pemberdayaan sumber daya hutan, dan melakukan pengawasan illegal logging bersama sector private dan masyarakat.
·         Private/investor mendapatkan keuntungan dengan meningkatnya harga kayu di pasaran, sumber daya (kayu) kembali terjamin keberadaannya, serta meningkatkan efisiensi pemakaian bahan kayu dan membangun hutan-hutan tanamannya sendiri.
·         Masyarakat mendapatkan keuntungan dengan kembali hijaunya hutan disekeliling lingkungan tinggal mereka, serta dapat terhindar dari potensi bencana akibat kerusakan hutan.
Selain dari keuntungan bagi stakeholders terkait jeda penebangan hutan juga bermanfaat dari segi ekologi, proses pembekuan sementara ini dapat menahan laju kerusakan hutan di Indonesia, serta dapat meningkatkan kapasitas oksigen di udara untuk mengurangi dampak dari pemanasan global.

Langkah Penerapan Moratorium Logging
Perlu diketahui bahwa  jeda pembalakan kayu (Moratorium Logging) adalah langkah awal yang dapat diterapkan sejak saat ini untuk menanggulangi kerusakan hutan nasional. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam menerapkan metode ini dengan cepat adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Liem dalam Jeda Penebangan Hutan):

1.   Penghentian pengeluaran ijin baru 
Sebagai kebijakan awal yang dapat dilakukan adalah dengan penghentian pengeluaran ijin-ijin HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Hal ini diharapkan dapat menjadi upaya pencegahan awal, dengan ditutupnya ‘keran’ ijin-ijin baru dapat mengurangi risiko bertambahnya areal hutan yang rusak, selain itu juga dapat dijadikan metode evaluasi terhadap HPH yang ada sebelumnya dalam mengelola kawasan hutan produksi.

2.   Penyelamatan hutan-hutan yang peling terancam kelestariannya 
Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan tropis dalam skala masif. Kecepatan penyusutan hutan alam antara tahun 1984 dan 1998 adalah sebesar 1,6 juta hektar per tahun, dan saat ini telah melampaui 2,4 juta hektar per tahun, salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia (Hardiman dalam Hutan Hancur, Moratorium Manjur). Di antara hutan-hutan tersebut terdapat hutan yang benar-benar terancam kelestariannya, diantaranya hutan di Kalimantan dan Sumatera yang mencapai 1.345, 5 Ha per tahun tingkat deforestasinya. Oleh karena itu, dalam metode ini diperlukan langkah yang tegas dalam penyelamatan hutan-hutan yang sangat terancam, baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum.

3.   Penyelesaian konflik soial dalam pengelolaan hutan
Proses penghentian sementara memberikan kesempatan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat yang berada di wilayah-wilayah konflik, untuk duduk bersama dan membicarakan solusi dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan yang bermasalah. Konflik sosial yang berkepanjangan akan dapat mudah diselesaikan ketika pihak-pihak yang terlibat berada dalam kondisi yang sama dan menghadapi persoalan yang sama (one goal) dalam hal ini krisis kerusakan hutan.

4.   Regulasi Larangan sementara penebangan hutan di seluruh Indonesia
Langkah terakhir yang dapat ditempuh oleh permintah adalah penghentian seluruh penebangan kayu di hutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh Indonesia.  Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat local. Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahanbaku kayu. Dengan jangka waktu yang ditentukan, ketika hutan-hutan nasional kembali pulih indsutri tersebut dapat kembali melakukan pengelolaan hutan dengan pengawasan dan metode yang berkelanjutan.

5.   Melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi
Sudah saatnya bottom up planning atau perencanaan pembangunan yang dimulai dari penjajakan pendapat dari masyarakat dilakukan. Dalam proses ini evaluasi tentang kondisi hutan nasional dapat menghasilkan suatu upaya yang komprehensif dalam mencegah kehancuran hutan. Masyarakat adalah sosok yang berada di dalam siklus pengelolaan hutan dan sudah selayaknya pemerintah memberikan ruang yang lebih banyak dalam mendengarkan apresiasi masyarakat.
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan keluarga. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi masyarakat hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan mereka. Oleh karena itu pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan dengan melibatkan peran serta masyarakat umum dalam pemanfaatannya, maka proses partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan juga akan tumbuh dengan sendirinya.

6.       Pencegahan dan Peringanan
Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan / penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong - cukong kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang dimaksud di sini adalah pemerintah harus melaksanakan analisa terhadap pelaksanaan peraturan tersebut di dalam masyarakat. Bila ditemukan hal - hal yang tidak cocok bagi masyarakat sebaiknya pemerintah mengadakan revisi terhadap undang - undang tersebut sepanjang tujuan awal pembuatan undang - undang itu tidak dilanggar.


Di mulai Dari Sekarang
Kesempatan tidak pernah datang dua kali, proses penyelamatan dan pencegahan kerusakan hutan nasional harus dimulai dari sekarang. Sebuah usaha besar yang akan menghabiskan banyak tenaga dan materi, untuk menerapkan sebuah metode pencegahan diperlukan kepedulian dan kesadaran dari semua pihak pada kondisi hutan kita saat ini.
Alih fungsi lahan, illegal logging, pembakaran hutan untuk membuka lahan, dan sederet sikap pengrusakan hutan yang sudah dilakukan merupakan sebuah kesalahan besar. Butuh waktu dan proses untuk menyadarkan semua pihak akan pentingnya penyelenggaraan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Sudah saatnya kebijakan yang diambil pemerintah tidak hanya berlandaskan profit atau laba, tapi juga ekologi, pemberdayaan masyarakat dan perencanaan yang berkelanjutan.
Metode dan strategi Moratorium Logging tidak akan pernah bisa dijalankan apabila paradigma di negara ini masih berorientasi pada permintaan pasar, dimulai dari ketegasan pemerintah dalam melindungi aset negara, partisipasi sektor privat dalam menjaga lahan produksinya agar tetap dapat melakukan aktivitas produksi, serta kepedulian masyarakat dalam memonitoring kelangsungan proses penghijauan kembali hutan nasional, dan menjaga hutan dari kerusakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, semua pihak mari kita mulai dari sekarang mengevaluasi diri kita sudahkah kita melestarikan dan menjaga hutan kita agar tetap utuh demi masa depan bangsa dan negara.

Upaya untuk mencegah potensi-potensi kerusakan hutan
a)         Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya fungsi hutan.
b)       Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;
c)        Melengkapi perangkat keras  berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan.
d)       Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan.
e)        Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan.
f)        Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
g)       Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
h)       Penebangan kayu di hutan dilaksanakan dengan terencana dengan sistem tebang pilih. Artinya, pohon yang ditebang adalah pohon yang sudah tua dengan ukuran tertentu yang telah ditentukan, dengan cara penebangan sedemikian rupa sehingga tidak merusak pohon-pohon muda di sekitarnya.
i)         Diberikan sanksi barang siapa yang mengambil hasil hutan dengan sengaja.
j)         Hutan kita yang belum ada penjaga hutan harus diadakannya penjagaan agar tidak terjadi pencurian.

6.                PENANGGULANGAN

Terdapat beberapa alternatif cara untuk menganggulangi atau paling tidak meminimalisir praktek illegal logging.

*      Pertama, telah diungkapkan sebelumnya bahwa praktek illegal logging disebabkan oleh meningkatnya permintaan kayu di pasar internasional. Dan sebagian besar kayu yang dipasarkan di dunia internasional adalah kayu hasil illegal logging. Hal ini berarti bahwa illegal logging turut melibatkan dunia internasional. Dengan demikian penanggulanganillegal logging harus dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan dunia internasional, seperti yang telah dilakukan Indonesia dengan Inggris lewat penandatanganan nota kesepahaman Forest Law Enforcement and Governance (FLEG). Hal terpenting dalam nota kesepemahaman tersebut adalah pemenuhan standar legalitas (keabsahan) kayu yang diperdagangkan. Keabsahan kayu harus dilihat, baik oleh hukum negara maupun hukum adat di mana kayu tersebut tumbuh.

*      Kedua, terkait dengan lemahnya penegakan dan pengawasan hukum, disinyalir karena UU Kehutanan dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Oleh karena itu, tindak pidana illegal logging ini harus dibentuk dalam undang-undang sendiri tentang illegal logging. Alasannya, selain karena UU Kehutanan dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging,juga karena tindak pidana illegal logging dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Selain merugikan keuangan negara, illegal logging juga setidaknya memiliki empat tindak pidana, yaitu:
perusakan lingkungan, korupsi, pencucian uang, dan pelanggaran kepabeanan. Sehingga penanganannya pun harus luar biasa, termasuk memasukkan illegal logging dalam undang-undang khusus di luar UU Kehutanan.

*      Ketiga, terkait dengan tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menyangkut kehutanan. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, managemen hubungan pusat daerah harus dikelola dengan baik, sehingga terjadi sinkronisasi fungsi antara pusat dan daerah. Harus dipahami bahwa dalam konsep otonomi, daerah memiliki wewenang dominan di daerahnya dibanding pusat, maka harus ditegaskan bahwa kebijakan yang menyangkut daerah, termasuk kebijakan dalam rangka kekayaan daerah (termasuk di dalamnya hutan), harus berada di tangan daerah dalam batas-batas tertentu kewenangan. Di samping itu, harus dibentuk suatu mekanisme pengawasan pelaksanaan kebijakan daerah, sehingga daerah tidak absolut dalam menentukan kebijakannya, sehingga prinsip check and balance terjadi antara pusat dan daerah. Misalnya, kewenangan pemberian HPH berada pada pemerintah daerah, tetapi setiap pemberian HPH oleh pemerintah daerah kepada pemilik modal harus dilaporkan kepada pusat, sehingga pusat dapat mengawasi pelaksanaan HPH tersebut.

*      Keempat, penanggulangan illegal logging dengan pendekatan ekonomi, yaitu dengan menjalin kerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sinergi dengan ketiga institusi tersebut untuk menanggulangi illegal logging dilakukan dengan pelacakan terhadap uang hasil illegal logging. Dari sisi legal, BI telah mensyaratkan prinsip Know Your Customer, yang mengharuskan perbankan mengenali nasabahnya. Jika ada transaksi di atas Rp. 100 juta sehari, nasabah harus menjelaskan asal-usul uang. Juga ada Undang-Undang No. 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang memungkinkan menjerat illegal logging sebagai tindak pidana. Dengan demikian, pendekatan anti-money laundering regime untuk menekan laju illegal logging dapat diterapkan. Kemudian, PPATK bisa memulai membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyedia jasa keuangan (bank, pasar modal, asuransi, dan money changer) membuat laporan rutin tentang transaksi-transaksi yang dicurigai. Langkah ini harus diikuti dengan penerbitan pedoman bagaimana perbankan bisa mengenali transaksi hasil illegal logging. Pada tahap awal, langkah ini akan terbantu bila PPATK membuat semacam risk profile: high risk country, location, and customer.[7] High risk countrymenunjukkan negara-negara yang berpotensi tinggi melakukan tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, terhadap negara-negara tersebut diterapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi. High risk locationmenunjukkan daerah-daerah di Indonesia yang kerap kali menjadi daerah keluar masuk kayu ilegal. High risk customermenunjukkan identitas-identitas nasabah yang acapkali bertindak sebagai penyokong tindak pidana illegal logging.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
2. Kebakaran dan penebangan liar merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran dan penebangan hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, dan penebangan liar ,pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas
4. Akibat penebangan hutan,2100 mata air mengering dan akibat dari penebangan juga mengakibatkan kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat.
Saran
Bagi para pembaca makalah ini dan juga semua orang bahwa hutan merupakan sumber kehidupan bagi manusia apabila hutan sudah tidak ada lagi maka kehidupan manusia akan berubah dan kemiskinan akan terjadi. Maka dari itu menjaga kelestarian hutan jangan lah dianggap mudah.







DAFTAR PUSTAKA
Illegal logging di Riau:

Hasil Illegal logging
                             
Illegal Logging

Kerusakan Hutan

Comments

Popular posts from this blog

Menjelaskan Pengertian Kolonialisme dan Imperialisme, Kapitalisme, Merkantilisme, dan Revolusi Industri.

Cerita yang mengandung unsur 5W+1H

SEJARAH PERADABAN MESIR KUNO LENGKAP